SMK PGRI3 TANGGUL

Cari Blog Ini

Senin, 09 Agustus 2010

senyum pelangi hitam

Ini adalah sebuah kisah yang mengambarkan kehidupan kita sebagi manusia. Kehidupan yang penuh dengan perbedaan, dan ketika semua perbedaan itu diangkat menjadi sebuah permasalahan, maka yang terjadi adalah penderitaan dan kesedihan bagi semua orang.
Dengan kisah nyata ini aku hanya ingin supaya kita bisa melihat dan merasakan apa yang terjadi dan yang harus terjadi semestinya. Atas itu semua aku ingin supaya setiap orang menanamkan satu pohon kasih dalam hati kita masing-masing. biar setiap saat ada pohon kasih yang meneduhkan hati kita saat suasana terlalu panas atau menghangatkan kita saat salju turun.
Aku adalah, dia yang menceritakan kisah ini padaku melalui surat yang di titipkanya pada penjaga panti asuhan, sehari setelah dia pergi sekitar 4 tahun yang lalu, sedikit mengenai sekarang,,,dia menghilang pada akhir tahun 2006 dan sampai sekarang belum di temukan,  Dia seorang lelaki berumur 14 tahun, dia tidak pernah mengenal dunia sekolah, tapi dia punya pendidikan, setidaknya pendidikan moral, dia pendiam dan bicara seadanya saja. Dia punya satu saudara perempuan yang masih berumur 6 tahun dan saudara laki-lakinya berumur 10 tahun,,, 
Begini:
“dulu keluargaku cukup bahagia, walau hidup serba kekurangan, karena kami memang tidak punya ladang maklumlah orang pendatang di kampung. Ayah dan ibuku sering mendapat tawaran untuk mengerjakan ladang orang lain dengan upah yang cukup baik. Ayahku sempat menyuruh aku untuk sekolah, tapi rasanya sudah terlambat. aku sudah betah dengan hidupku dan aku bisa membantu ayah dan ibu untuk memasak makan siang mereka di ladang ketika mereka bekerja.
 Masalah yang paling berat muncul ketika ibuku mengandung NIa dan Ain, ibu yang sudah hamil tua harus tetap bekerja, dan mungkin itulah sebabnya kenapa ibu tidak kuat ketika persalinan sudah tiba.  Proses melahirkan itu sangat menyakitkan, berkali-kali aku mendengar teriakan ibuku, berkali-kali aku mendengar sorakan tuk memberi semangat dari ibu-ibu di kampungku. Waktu itu aku menangis, aku tidak bisa membayangkan kalau peristiwa itu juga dulu dialami ibuku ketika mau melahirkan aku.
 Tepat pada pukul 3 pagi, aku mendengar suara tangisan bayi, rasanya aku mau meloncat kegirangan. Tapi yang aku dengar bukanlah suara tangisan bayi saja, tapi teriakan dan tangisan ayahku dan ibu-ibu di sana, kenyataan harus aku terima saat itu, ternyata ibu menyudahi ceritanya, dan dia membawa NIa dan meningalkan Ain buat kami. Ibu melahirkan bayi kembar tapi hanya menitipkan satu untuk kami.  Kepergian ibuku membuat semuanya berubah, mulai dari perlakuan ayah yang jadi stress sampai masalah ekonomi keluarga kami yang makin hancur.
Di situlah awalnya aku berubah menjadi seorang ibu, seorang ibu untuk bayi imut kecil yang sangat aku sanyangi,,Ain, dan buat adik tercinta yang saat itu baru masuk sekolah dasar Hardi. Umurku masih sekitar 10 tahun waktu itu. tapi aku sudah tahu betul bagaimana merawat seorang bayi yang baru di lahirkan, menganti celananya di malam hari, memasak nasi dan memberinya air taji, bagaimana aku mengakal-akali adik kecilku supaya pergi ke sekolah, sampai meminta-minta bubuk kaldu mie supaya ia mau makan.
Bukan cuma di situ, aku harus selalu siap dengan perlakuan ayahku yang semakin hari semakin kasar,  Masa kecil yang memang sangat memaksa buat aku saat itu. Tidak hanya sampai di situ, sebuah kejadian yang memalukan dan tidak bisa di terima oleh otakku ternyata harus terjadi. ayahku kembali berulah, saat mabuk dia ketahuan warga mau melakukan perbuatan najis, pemerkosaan. Waktu itu belum terlalu malam, katika ayahku di seret kerumah dengan darah segar yang mengalir. Mereka bisa saja membunuh ayahku, tapi mereka tidak melakukanya. Ayahku di bawa ke kantor polisi dan di penjara dengan hukuman 15 tahun penjara.
Permasalahan yang ayah lakukan tidak hanya mengotori dia,tapi juga aku, Ain, dan Hardi. Sempat beberapa masyarakat mau mengusir kami dari kampung, apalagi keluarga korban mereka bahkan melempari aku dengan ludah. Untunglah masih ada sebagian masyarakat yang mau menerima kami dan berbelas kasihan pada kami waktu itu. apa yang aku lakukan hanyalah memeluk ke dua jiwaku, memeluk Hardi yang ketakutan dan memeluk Ain yang begitu tenang dalam pangkuanku. Aku sempat melihat beberapa sahabat bermainku yang seumuran dengan aku menangis ketika memperbincangkan aku. Mereka adalah anak yang baik, mereka sering sekali datang dan membantu aku mengurus kedua adikku di rumah.
Ada satu yang selalu mengiris hatiku, Jihan gadis muda yang hampir di perkosa ayahku senantiasa tersenyum padaku. Dia bahkan mau menghapus air mataku saat aku sedang sedih dan mau berteriak di perapian rumah kami. Jihan sering sekali minta maaf untuk kesalahan yang tidak pernah di lakukanya. Terakhir kali aku melihat jihan Adolph ketika ayah dan ibunya menyeret dia dari rumah, karena ketahuan menolong aku. Besoknya dia di pindahkan sekolah ke kota.  Hardi terpaksa berhenti sekolah di tahun pertamanya.  Hari-hariku begitu saja berlalu. Merawat Ain dan Hardi, memberi mereka makan, mengemis pada tetangga, dan memohon kerjaan pada pak Suharto yang membuka pertokoan kecil disana. Banyak orang yang bersimpati sama kami walau masih ada juga yang mengharamkan kami.
Tapi nyatanya aku bisa hidup walau kadang-kadang aku hanya makan sisa nasi ke dua saudaraku yang lengket di piring-piring aluminium yang hampir retak itu. Memang benar, ketika aku berdoa maka semuanya akan jadi ringan, dulu aku suka berdoa, ketika dirumah sangat sepi, dan ketika anjing kampung mengaung di dekat rumah kami, ketika  Ain terbangun dan menangis dan ketika Hardi terlihat damai dalam mimpinya. Sambil mengelus keniang Ain di situlah aku berdoa, dan yang aku minta,,hanyalah kekuatan supaya aku bisa bertahan sampai adik-adiku bisa hidup seperti aku. Dan itupun terjawab, walau yang aku cicipi hanyalah asam dan garam tapi aku bisa membesarkan ain sampai sekarang.
Perjalanan dan cerita kenapa aku bisa sampai di kota ini adalah sebuah kesalah pahaman. Itu terjadi setahun yang lalu ketika aku berumur 13 tahun, Ain 5 tahun dan Hardi sudah 9 tahun.Waktu itu aku sudah mulai mendapat tawaran-tawaran bekerja di ladang orang, sama seperti yang ayah dan ibuku dulu lakukan. Tapi itu tidak berlangsung lama. Ceritanya begini, waktu itu sekitar jam 6 sore, aku sedang dalam perjalanan pulang dari ladang, seperti kebiasaan orang kampung,,,pada umumnya mereka lebih senang mandi di sungai dari pada di kamar mandi.
Waktu itu aku mau melewati sungai kecil yang di atasnya di jadikan sebagai tempat mandi untuk perempuan, ketika aku mau melewati sungai itu. aku mendengar teriakan ibu-ibu dari atas, mereka berteriak,,,”ular,,,ular,,,,,” tanpa pikir panjang aku berlari ke sana dan masuk ke sungai untuk menolong dia dan membunuh ularnya,,,melihat aku ibu-ibu yang sedang mandi itu kembali berteriak dan berlari dengan hanya mengunakan handuk ke arah kampung. Ternyata ibu itu adalah ibunya Jihan, aku sudah bisa menebak apa yang akan terjadi waktu itu, sebenarnya aku pengen lari tapi aku memikirkan kedua adikku yang masih kecil di rumah. Jadi aku memutuskan untuk pulang.
 Apa yang mereka lakukan kepada ayahku mereka lakukan kepadaku, mereka menginjak-injak kepalaku di depan Ain yang berteriak-teriak sambil memeluk aku. Waktu itu yang aku takutkan bukanlah rasa sakit oleh benturan di kepalaku, tapi yang aku takutkan adalah polisi, aku takut jika aku di penjara. Jadi ketika aku mendengar mereka menyebut polisi, aku langsung bangun dan bersujut di kaki mereka, waktu itu Hardi yang tak tahu apa-apa bahkan ikut melakukanya, mereka tetap saja bersi keras mau memangil polisi, tapi ketika tiba-tiba AIN yang sangat polos itu ikut bersujut di kaki orang-orang kampung, tiba-tiba beberapa diantara mereka menangis dan memeluk Ain, tapi sebagian besar tetap saja mengutuk kami. Akhirnya mereka tidak menjebloskan aku ke penjara, tapi mereka menyuruh kami meningalkan kampung dengan baik-baik.
Besoknya sekitar jam 6 pagi, saat kampung masih sangat sepi, aku dan kedua adikku yang masing-masing memegang sebelah tanganku berjalan meningalkan kampung, aku tidak bisa membawa barang-barang kami, hanya sedikit baju dan juga tempat air untuk adikku, aku mengendong barang-barang itu. sesekali aku melihat Ain kebingungan, dia bertanya dan bertanya sambil melihat kea rah rumah yang mau kami tinggal. Aku bahkan tidak bisa menjawab satupun pertanyaan itu. satu km perjalanan aku bisa melihat kuburan ibuku,,,di pinggir jalan, aku mengajak AIN dan Hardi kesana sebentar. Ain tidak tahu siapa yang di kubur di sana, yang dia tahu aku sering datang ke sini dengan mereka, membersihkan dan menahan air mataku di dekat nisanya. Dan itulah yang terjadi pagi itu. aku dan kedua addikku hanya terdiam berdiri di depan gundukan itu.
 Sekitar 5 km perjalanan, saat Ain minta makan, kami beristirah sebentar, dan tiba-tiba dari arah kampung terdengar suara orang yang memangil-mangil namaku…aku tersenyum ketika melihat yang datang Adolph Sopian dan husen beserta Aldi.
 “kamu mau pergi tanpa pamit” kata sopian ketika mereka sudah di depan kami. Aku hanya diam dan sesekali memandang muka mereka.
 “kami percaya padamu,,,kami mengenal kamu,,maaf kami tidak bisa membantumu,” tanba sopian. Sementara itu husen dan aldi membuka bungkusan nasi yang mereka bawa, dan memberikanya pada Ain dan Hardi. Husen dan Aldi memang sangat sayang pada mereka, dua remaja itu bahkan bergantian memeluk Ain sambil menangis.
“ini untukmu…makanlah, maaf kami tidak bisa lama-lama” katanya sambil meletakkan sebungkus nasi dan 3 lembar uang dua puluh ribuan,“ini uang dari mana, sudahlah kawan, uang ini tidak usah” tanyaku penasaran“oh..kau mau menolak, udalah Sin, ini akan kamu butuhkan, mengenai dari mana itu, itu urusan kami, yang penting sekarang kalian punya bekal, oke,,,maafkan kami sob kami tak bisa buat banyak untukmu,,,” kata sopian sambil memeluk aku dan selanjutnya ke dua adikku.
“Sin,,,jagain Ain untukku ya, jangan lupa kirim surat,,~hardi ntar kalo kamu da jadi preman kek cita-citamu jangan lupa aku yah,,gurumu bang Aldi” kata aldi sambil berkali-kali memeluknya,,, Setelah itu mereka pergi dan kami kembali berjalan, syukurlah dengan bantuan sahabat-sahabatku kami bisa sampai di kota ini, walau kami Cuma bisa tinggal di kolam jembatan, yang penting disini aku lebih mudah cari makan dari hasil ngamen, walau terkadang aku harus menyuruh Hardi untuk mengemis..tapi yang penting kami bisa hidup.
  Yang paling berat sekarang adalah besok, rasanya aku tidak kuat jika harus berpisah dengan Ain dan Hardi, tapi itu harus terjadi, mereka memang lebih baik hidup di panti asuhan, selain supaya bisa sekolah mereka juga tidak harus mengemis dan tinggal di kolom jembatan, aku yakin setelah mereka besar nanti aku akan melihat mereka kembali, walau mungkin mereka tidak akan mengenalku lagi, oh,,,,maaf sob jadi kebanyakan curhat….eh terimakasih buat info panti asuhanya yah,,,dan buat semua bantuan yang  sob berikan selama ini,, aku sudah memutuskan untuk ikut Teguh ke Batam,,,sesekali kalau sempat tolong jengguk Ain dan Hardi..bilang padanya aku ada di hatinya kalau mereka bertanya aku dimana”  Maaf baru bisa ceritain apa yang sob Tanya-tanya selama ini.
Dari sobatmu Dasin

 Dari kisah inilah aku mulai belajar akan arti pahitnya hidup, bawah hidup tidaklah seperti ukiran kita, yang bisa di warnai dengan warna apa saja, tapi kertas hidup itulah yang memilih warnanya sendiri, tugas kita hanyalah bertahan dan melalui setiap goresan-goresan itu. dan hidupun akan mengenal kita,siapa yang sangup dan siapa yang tidak. setidaknya dasin di berikan kebahagian, kebahagian yang tersimpan dalam senyum kedua adiknya.
Dan buat Jihan, sopian, aldi dan husen, walaupun aku tidak mengenal kalian tapi aku yakin dalam hatimu tersimpan mutiara yang utuh, aku selalu berdoa supaya suatu saat aku bisa bertemu dengan kalian, bertemu dalam dunia persahabatanku. Dan untuk itu semua melalui cerita ini aku menyampaikan terima kasih Dasin yang sebesar-besarnya  Dari satu sisi, ketika pagi itu datang,Ketika mentari yang terlalu pendiam itu muncul.
Aku bisa merangkai sejuta kata.Kata-kata yang terbalut dengan indah,Lewat gemirik sungai kecil dalam hati.Sesuatu yang kadang terlalu sulit tuk ku ucap.Sampai sekarang , masih tersimpan dalam hatiku,Syukur buat langit dan tetes-tetes hujan yang diberikanya,Buat sejengkal hati dan rasa percaya di dalamnya.Buat teguhnya kaki ku yang melangkah menepaki tanah berduri.Dengan tajamnya pisau aku mengukir dan memberi petunjuk akan jalan yang berliku,Biar taman yang indah hanya ada dalam ajalku.Dan derita jadi sahabat hidupku.Buat mereka yang tersenyum bersamaku,Dengan ringanya tanganmu,,Kupersembahkan sejuta doa dalam hatiku,Ke empat sahabatku adalah keluargaku,Walau tanpa ikatan darah, tapi kau lebih buatku.Terimakasih buat tanah gersang, cacinng-cacing diladang, pepohonan dan kupu-kupu yang pernah menemani hari-hariku dan senantiasa mendengar ceritaku, Terimakasih buat dinginya malam, pekatnya awan dan hitamnya alam, asap-asap tebal dan api kecil yang senantiasa menemani malamku.Terimakasi buat kedua hatiku yang terlahir untukku, senyumu kan ku ingat dan ku ukir di dalam hatiku, sampai engkau kan benar-benar memimpikanku setiap malam, dan kita akan bertambah besar bersama,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar